Oleh: Devina Heriyanto
Mudah untuk mengetahui hari-hari besar di Indonesia: cukup cek media sosial dan lihat apa yang sedang ramai dibicarakan. Tiga hari lalu (20/4), tagar #PerempuanBisa meramai lini masa saya, dalam rangka menyambut Hari Kartini, simbol perjuangan perempuan di Indonesia.
Isu yang dibahas beragam, salah satunya sepakbola. Yang menyentil saya adalah materi kampanye media sosial salah satu akun futsal lokal, yang mendampingkan tagar #PerempuanBisa di samping kalimat, “Perempuan adalah suporter terbaik di dunia.” Ada satu tautan yang ketika dibuka menceritakan doa ibu para pemain Tim Nasional Indonesia U-22, ditutup dengan pesan bahwa ibu dan perempuan adalah suporter terbaik di dunia.
Rasa-rasanya, romantisme seperti ini memang umum di Indonesia. Siapa pula yang tidak pernah mendengar klise macam, “Di balik pria yang hebat ada perempuan yang hebat,” atau, “Surga ada di balik telapak kaki ibu.” Tapi di masa kini, rasa-rasanya romantisme itu perlu ditelaah. Apalagi dalam konteks sepakbola.
Saya perempuan yang mulai mengenal sepakbola lewat pria-pria di keluarga, dari ayah yang tidak punya klub favorit tapi punya yang dia benci, kakak yang secara religius bermain Football Manager setiap versi barunya terbit, sepupu yang punya koleksi baju bola tapi tidak pernah dipakai karena sayang, hingga paman-paman yang rajin datang ke rumah untuk menonton kejuaraan sepakbola dan menyeruput kopi hitam bersama. Seperti perempuan pada umumnya, pemain idola saya adalah David Beckham, dan impian saya adalah menjadi anak kecil yang digandeng pemain sebelum pertandingan dimulai.
Bermain bola? Lupakan saja, mana bisa? Saya kan perempuan.
Barulah setelah agak dewasa saya tahu bahwa perempuan juga bisa bermain bola, meski sepakbola perempuan masih diperlakukan seperti olahraga kelas dua dibandingkan versi lelaki. Tidak beda jauh lah dengan sepakbola yang harus mengalah berganti nama menjadi soccer di Amerika Serikat karena kalah populer dengan American football.
Memang, kesenjangan gender ada di mana-mana, bukan cuma di lapangan hijau. Perempuan dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki, sebuah fenomena yang dinamakan gender pay gap. Menurut Pew Research Center, perempuan di AS dibayar 82 sen untuk setiap dolar yang diberikan kepada laki-laki pada tahun 2017. Untuk mendapat bayaran yang sama, perempuan harus bekerja ekstra 47 hari.
Bagaimana dengan sepakbola?
Asosiasi Sepakbola Inggris (FA) melaporkan bahwa pekerja laki-lakinya dibayar 23,2% lebih tinggi daripada perempuan. Ini berarti untuk setiap 100 paun yang diterima laki-laki, perempuan hanya mendapatkan 76,80 paun. Angka 23,2% ini adalah rata-rata seluruh organisasi, tapi di golongan managerial menengah, kesenjangannya hanya 12,1%—lebih rendah ketimbang rata-rata nasional di Inggris pada 18,4%.
Masalah FA lebih terletak pada tidakmeratanya posisi perempuan, di mana posisi atas didominasi laki-laki, menyebabkan gaji rerata laki-laki yang lebih tinggi pula. FA juga mengaku bahwa pelamar pekerjaannya lebih banyak laki-laki.
Jangan merasa lebih baik dulu. Untuk pemain, jurang kesenjangan ini lebih lebar lagi.
Menurut survei Sporting Intelligence seperti dilaporkan The Guardian, gaji Neymar bisa membayar sebanyak 1.693 pemain sepakbola perempuan di Paris, Jerman, Inggris, AS, Swedia, Australia, dan Meksiko. Neymar membawa pulang 32,9 juta paun dari klubnya, Paris Saint-Germain, untuk musim 2017/18, itu pun belum termasuk bonus atau pekerjaan komersil lainnya. Dibandingkan dengan pemain top saja, Neymar bagaikan langit. Gaji Neymar sebanding dengan tujuh pemain perempuan dengan bayaran tertinggi.
Kembali pada FA, pemain di Women’s Super League digaji rata-rata 26.752 paun per tahun, sedangkan pemain pria di Premier League digaji rata-rata 2,64 juta paun atau 99 kali lebih banyak dari perempuan.
Masih berani bilang bahwa sepakbola perempuan sudah cukup berkembang?
Sepanjang sejarah, sepakbola perempuan mengalami diskriminasi hebat. Dari awal kemunculannya, sepakbola perempuan dianggap sebagai ancaman terhadap citra maskulin sepakbola. Pada 1921, FA melarang klub untuk mempersilakan perempuan bermain di lapangannya. Larangan ini bertahan sampai setengah abad kemudian.
Sampai sekarang pun, sepakbola perempuan masih kesulitan bersaing.
Bandingkan saja puncak pagelaran sepakbola: Piala Dunia. Piala Dunia FIFA perempuan digelar per empat tahun sejak 1991, tapi jelas tidak mendapat sorotan seperti yang laki-laki. Piala Dunia perempuan terakhir, tahun 2015 di Kanada, punya attendance rata-rata 25.664 setiap pertandingannya. Piala Dunia 2014 di Brazil punya attendance yang hampir dua kali lipatnya, 52.918 per pertandingan.
Di Indonesia, kondisinya jauh lebih mengenaskan. Meski tim nasional perempuan Indonesia sempat berjaya pada tahun 1980an (berjaya di sini sebatas juara 2 AFF dua kali tahun 1982 dan 1985, tapi cukup lah dibandingkan sekarang), keberadaannya kini nyaris non-eksisten.
Asosiasi Sepak Bola perempuan Indonesia baru berdiri tahun 2017, empat tahun setelah dicanangkan, dan memilih ketuanya, Papat Yunisal, Desember tahun lalu pula.
Untuk Asian Games tahun ini saja, di mana Indonesia menjadi tuan rumah, seleksi pemain sepakbola perempuannya baru dilaksanakan bulan lalu. Berarti, Tim Nasional Indonesia yang berlaga di Asian Games hanya punya waktu kurang dari lima bulan untuk berlatih.
Ada tim-tim sepakbola, tapi tidak ada kompetisi yang terorganisir menyerupai Liga 1. Baru-baru ini saja PSSI menghimbau tim-tim di Liga 1 untuk membentuk tim sepakbola perempuannya, dan beredar kabar bahwa Liga 3 perempuan akan mulai bergulir tahun depan.
Saya tidak tahu apakah Tim Nasional Indonesia akan siap berlaga di Asian Games dengan persiapan yang sangat sebentar, atau seperti apakah keberlangsungan Liga 3 perempuan. Yang bisa saya bilang adalah: PSSI sudah punya itikad baik untuk membangkitkan sepakbola perempuan. Laporan-laporan gender gap FA juga patut dihargai sebagai bentuk pengakuan atas masalah yang selama ini disembunyikan di balik karpet saja.
Untuk sekarang, lupakan dulu soal peran perempuan sebagai suporter yang katanya selain sebagai dukungan moral, juga bisa mengurangi maskulinitas di antara suporter lelaki yang cenderung gampang ribut.
Untuk hari ini saja, yakinkan diri Anda bahwa #PerempuanBisa. Bukan cuma bisa jadi pendukung, tapi juga bisa jadi pemain. Yakinkan diri Anda juga, bahwa #PerempuanBisa, dan berhak, didukung oleh Anda sebagai gantinya.
Bagaimanapun, bola itu bundar, dan lapangan tidak mengenal warna selain hijau. Bukankah itu indahnya sepakbola?
Tidak lari di lapangan hijau, cukup di atas tuts keyboard saja. Suka mengoceh di Twitter https://twitter.com/devinayo">@DevinaYo dan ngeblog di sini.
Komentar